Kamis, 14 Oktober 2010

Bikin Festival Film itu gak gampang


Bikin Festival Film itu ndak gampang, dan alasan kenapa harus ada Festival Film itu juga bukan sebuah pertanyaan yang mudah di jawab.

Melalui situsnya Jiffest (Jakarta International Film Festival) mereka menyatakan jika Jiffest ke 12 yang direncanakan terselenggara 27 November-3 Desember terancam gagal dan bubar gara2 masalah pendanaan. Masalah dana selalu menjadi masalah pelik di semua festival film. Dari yang sederhana yang bersifat kedaerahan atau yang skala internasional seperti Jiffest ini.

Loh memangnya jiffest gak bisa cari sponsor apa? Beberapa orang protes dengan adanya gerakan kampanye #SaveJiffest di berbagai media social. Dan merasa gerakan #SaveJiffest ini gak tepat, sementara ada banyak yang harusnya lebih layak di bantu di negara ini daripada pemerintah harus menuruti membantu Jiffest.

Jadi gini, selama ini Jiffest bisa berjalan dengan baik karena mereka mempunyai donatur dan sponsor dari luar negeri. Tapi setelah 10 tahun kontrak sponsor pun habis. Dan walau mencari dana dari sana-sini pun tetap belum bisa menutupi dana operasional festival. Jiffest setiap tahunnya minta dukungan dari pemerintah, tapi ya tahu sendiri lah bagaimana birokrasi dan banyak kepentingan yang ada di sana. Akhirnya masalah prioritas lah yang menjawab. Mungkin ini saatnya buat Jiffest untuk mencari dana lagi ke tempat lain atau bahkan menggalang dana dari penonton yang haus akan festival film alternatif.

Kenapa jiffest harus ada? Jiffest ialah salah satu festival film internasional terbesar di Asia Tenggara. Sudah mendatangkan banyak film alternatif dari berbagai negara yang film2 itu belum tentu bisa masuk ke jalur bioskop di Indonesia. Di jiffest ada workshop, master class, dan diskusi untuk mengapresiasi film yang memperkaya pengetahuan film di Indonesia. Dan biasanya pengisi workshopnya pun datang dari beberapa ahli film dari luar negeri dan negeri sendiri. Di festival ini pula film2 pendek anak negeri pun juga diputar dan diapresiasi, tidak hanya film2 layar lebar yang telah punya nama.

Mungkin untuk penjelasan lebih lanjut bisa dibaca di situs mereka.

Kalau saya melihat kasus ini tidak heran, festival film di manapun itu cuma kerja sosial saja, mereka ndak pernah mencari keuntungan, mereka ada untuk memberikan alternatif hiburan dan wawasan di masyarakat, mereka juga memperkaya penikmat dengan keanekaragaman gagasan dan budaya. Yah biar para penikmat itu pinter, gak cuma katak dalam tempurung, tapi bisa lebih terbuka dalam pemikiran. Dan bisa menginspirasi para pembuat film di Indonesia biar film di Indonesia lebih beragam dalam ide dan cerita (gak melulu cuma pocong dan seputar selangkangan mulu).

Bikin festival gak gampang, harus cari film kemana pun, jika ini festival internasional nyari filmnya pun juga sampe ke belahan dunia lain. Semua saling bertukar jejaring, nyari film di berbagai Negara. Lalu film2 itu dikurasi dan dimasukan dalam program, dalam sesi ini dipilih kira2 mana film yang cocok dengan kondisi di sini (Indonesia). Minjem film itu juga gak gratis, harus mengurus ijinnya dan pertanggung jawaban pada para pembuat filmnya.

Lalu mencari tempat pemutaran. Kesannya beberapa festival film itu terlalu eksklusif, kurang membumi. Ya karena tempat2 yang eksklusif itu yang bisa dengan terbuka menerima adanya pemutaran film yang layak. Seperti di bioskop Blitzmegaplex, atau beberapa pusat kebudayaan di Jakarta atau gedung kesenian. Sekali lagi itu juga gak gratis. Dan belum lagi jika pemutaran dilaksanakan selama beberapa hari.

Bukan cuma tempat pemutaran, ada pula tempat untuk diskusi, workshop, master class dan lain sebagainya. Kalau ditotal2 wajar lah jika bujet membengkak. Butuh volunteer yang banyak untuk mengurus semuanya agar berjalan dengan baik. Dan pada saat pelaksanaan gak jarang ada banyak kekurangan. (seperti yang pernah saya keluhkan tahun lalu).

Memangnya gak bisa tertutupi dari tiket nonton Jiffest? Tiket Jiffest itu berapa sih? 15.000 (kalo ndak salah, saya lupa soalnya) bahkan banyak pemutaran film yang gratis. Dengan pemasukan dari tiket segitu bisa menutupi biaya operasional darimana?

Lho tapi kan ini festival cuma di Jakarta doang? Dan sekali lagi yang menikmati cuma orang Jakarta aja! Ada kok Jiffest traveling yang memutarkan film2 dari berbagai Negara dan negeri sendiri ke kota2 lain selain Jakarta. Ke padang, medan, malang, jogja, solo, Makassar, Surabaya, dll

Setelah saya mengingat lagi semuanya dan saya sadar bahwa menyediakan hiburan alternatif yang bermutu itu ndak gampang, saya rasa #SaveJiffest ini tidak berlebihan kok. Ada banyak cara untuk membantu dan membangun Negara kan? Dan ada banyak cara untuk membangun dan membantu perfilman negeri ini :)

Untuk yang peduli dan ingin festival ini tetep ada bisa menyumbang ke:

Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia

No. 7420030091

BCA Percetakan Negara (untuk pembayaran dalam mata uang Rupiah)

Bukti pembayaran dapat kirimkan melalui alamat email info@jiffest.org atau jiffest@gmail.com, atau fax ke 021-31925360.

Sebagai catatan, tahun ini JIFFest membutuhkan pendanaan sekitar 2 miliar rupiah. Sampai saat ini, JIFFest masih memerlukan 1.5 miliar lagi untuk benar-benar bisa terselenggara.

Jika sampai pada tanggal 1 November belum terkumpul 1 miliar rupiah, maka dengan sangat menyesal penyelenggaraan JIFFest tahun ini ditunda sampai waktu yang belum dapat ditentukan.

Lagi2 saya curhat deh di sini, oh iya tulisan ini saya buat karena saya penikmat film2 Jiffest dan festival lainnya. Saya buat karena saya peduli dengan adanya festival film. Saya bukan panitia dan maaf jika saya terlihat sok tahu tentang ini, tapi saya tahu kinerja membuat festival karena saya pernah membuat festival film di daerah dan itu sulitnya bukan main (bahkan lebih sulit dari di Jakarta). Yah sedikit-banyak saya bisa curhat tentang kesulitannya :D hehe

Semoga Jiffest dan Festival film lainnya tetap bisa terselenggara ya... Amien...